URUTAN - URUTAN HAJI
1. IHRAM
Pengertian Ihram
Ihram
secara bahasa berasal dari kata أحرم يحرم إحراماً, yaitu seseorang jika
berniat haji atau umrah dan melaksanakan sebab dan syarat-syaratnya, siapa yang
telah melepaskan pakaian yang membentuk tubuhnya dan menjauhi seluruh perkara
yang dilarang syariat Islam ketika ihram, seperti; minyak wangi, nikah, berburu
dan semisalnya, berarti dia berihram.
a. Dianjurkan
memotong kuku, menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ
– الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ
الشَّارِبِ ».
Artinya:
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Fitrah manusia ada lima; khitan, menghabiskan bulu
kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
b. Dianjurkan
mandi yang mengangkat hadats besar.
عَنْ ثَابِتٍ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ.
Artinya:
“Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan pernah melihat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan pakaiannya dan mandi untuk berihram”.
(HR. Tirmidzi)
Bahkan
wanita haid dan nifaspun dianjurkan mandi untuk berihram :
قَالَ النبي صلى الله عليه و سلم لأسماء
بنت عميس رضي الله عنها « اغْتَسِلِى وَاسْتَثْفِرِى بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِى ».
Artinya :
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam bersabda kepada Asma binti Umais
yang sedang nifas dan ingin berihram: “Mandi, tutup dengan pembalut dan
beihramlah”. (HR. Muslim).
c. Dianjurkan
memakai minyak wangi di kepala, janggut dan badan.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ
بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِى رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بَعْدَ
ذَلِكَ.
Artinya:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
jika ingin berihram beliau memakai minyak wangi paling wangi yang beliau
dapati, maka aku melihat bekas minyak wangi tersebut di kepala dan jenggot
beliau setelah”. (HR. Muslim)
d. Untuk
laki-laki berihram dengan memakai dua kain ihram, dan diutamakan berwarna putih
karena dia adalah warna sebaik-baik pakaian.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما, قَالَ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: « وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِى إِزَارٍ وَرِدَاءٍ
وَنَعْلَيْنِ ».
Artinya:
“Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya salah seorang dari kalian
berihram di dalam (memakai) kain sarung, surban dan dua sandal”. (HR. Ahmad).
Untuk
wanita diperbolehkan memakai pakaian apa saja yang diperbolehkan oleh syari’at
ketika keluar rumah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتِ : الْمُحْرِمَةُ تَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَا شَاءَتْ إِلاَّ ثَوْبًا مَسَّهُ
وَرْسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ وَلاَ تَتَبَرْقَعُ وَلاَ تَلَثَّمُ وَتَسْدُلُ الثَّوْبَ
عَلَى وَجْهِهَا إِنْ شَاءَتْ.
Artinya:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wanita muhrim memakai dari pakaian apa
saja yang dia kehendaki kecuali pakaian yang terkena wars (tanaman kuning yang
dipakai untuk mewarnai kain) atau za’faran, dan tidak boleh memakai burqu’
(sesuatu yang dipakai menutupi wajah sehingga hampir menutup mata), tidak
menutup mulut, dan menjulurkan kain di atas wajahnya jika dia menginginkan”.
(HR. Al Baihaqi dan dishahihkan di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/212).
e. Ketika
sudah di atas kendaraan menghadap kiblat dan berniat di dalam hati untuk
melakukan manasik.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما
– قَالَ أَهَلَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ
قَائِمَةً .
Artinya:
“Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam berihram ketika hewan tunggangannya berdiri tegak”. (HR.
Bukhari)
Bagi
yang berhaji tamattu’ berniat melaksanakan ibadah umrah, dan
mengucapkan: “Allahumma labbaika ‘umratan atau Labbaika Umratan”.
Bagi
yang haji qiran berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah secara
bersamaan dan mengucapkan: “Allahumma labbaika umratan wa hajjan atau labbaika
umratan wa hajjan “,
sedangkan bagi
yang haji ifrad berniat melaksanakn ibadah haji saja dan mengatakan:
“Labbaika hajjan atau Allahumma labbaika hajjan”.
f. Apabila
khawatir tidak bisa menyempurnakan umrah maupun hajinya, disyari’atkan
mengucapkan:
إِنْ حَبَسَنِيْ حَابِسٌ فَمَحِلّيِ حَيْثُ
حَبَسْتَنِيْ
Artinya:
“Jika ada sesuatu yang menghalangiku maka tempat bertahallulku dimana Engkau
menahanku”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mulai
di sini dia merupakan orang yang berihram atau disebut Muhrim.
Dan
semenjak itu disunnahkan baginya membaca talbiyah :
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ
لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ
شَرِيْكَ لَكَ“
Disunnahkan
untuk mengeraskan talbiyah bagi laki-laki,
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَاءَنِى جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا
مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا
مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ ».
Artinya:
“Zaid bin Khalid al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah mendatangiku, lalu berkata: “Wahai
Muhammad perintahkan shahabat-shahabatmu agar mengangkat suara mereka dengan
mengucapkan talbiyah, karena sesungguhnya ia adalah syiar haji”. (HR. Ibnu
Majah dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 830)
Sedang
bagi wanita hanya dengan suara yang rendah. Talbiyah ini terus dibaca dan
berhenti sampai ingin melaksanakan thawaf
Dan semenjak itu pula
sudah diberlakukan baginya larangan-larangan ihram, diantaranya :
1. Bersetubuh
sebelum tahallul awal. Dalilnya Firman Allah Ta’ala :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
(QS. Al Baqarah: 197).
Barangsiapa bersetubuh sebelum
tahallul awal, maka :
a. Dia
berdosa
b. Hajinya
telah batal
c. Harus
melanjutkan sisa manasik haji
d. Wajib
melaksanakan haji pada tahun selanjutnya
e. Wajib
membayar fidyah dengan menyembelih sapi atau onta lalu dibagikan kepada para
fakir di tanah suci dan tidak memakan darinya.
Namun bila bersetubuh setelah
tahallul awal dan belum melakukan thawaf ifadhah:
a. Dia
berdosa
b. Hajinya
sah
c. Dia
harus memperbarui ihram dia yaitu dengan pergi keluar tanah haram dengan
pakaian ihram memulai ihram di sana kemudian ke Makkah untuk thawaf Ifadhah.
d. Dia
juga diwajibkan membayar fidyah, yaitu menyembelih kambing dan dibagikan kepada
fakir miskin di tanah suci dan tidak memakan darinya.
Apabila seorang istri dipaksa
bersetubuh oleh suaminya maka dia tidak terkena hukuman apabila telah menolak
semampu mungkin.
Apabila seseorang ihram bersetubuh
karena lupa maka tidak terkena hukuman.
2. Memakai
pakaian berjahit bagi laki-laki.
Bagi orang laki-laki yang sedang
ihram tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berjahit.
Maksud dari pakaian berjahit adalah
pakaian yang dibuat sesuai dengan bentuk badan. Maka tidak diperbolehkan
memakai kemeja, celana luar maupun dalam, sorban, topi, peci, jubah, ghamis,
burnus (baju yang mempunyai penutup kepala), sepatu yang menutupi mata kaki,
kaos tangan maupun kaki dan yang sejenisnya.
Dalilnya, sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasalllam ketika ditanya tentang pakaian muhrim :
لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ
وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ
النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
Artinya:
“Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai
penutup kepala) serta sepatu khuf (yang menutupi dua mata kaki) kecuali
seseorang yang tidak mempunyai sandal, maka hendaknya ia memakai sepatu khuf
dan memotong di bawah dua mata kaki”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan jika ia mengerjakan larangan
ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
a. Dia
berdosa
b. Wajib
baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci atau
memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’ atau menyembelih
kambing.
Dan kalau ia mempunyai udzur
keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak
berdosa.
3. Menutup
kepala bagi laki-laki.
Yang dimaksud penutup kepala
seperti: peci, topi, sorban atau lainnya yang menutup dan menempel di kepala.
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang pakaian
muhrim :
لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ
وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ
Artinya:
“Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai
penutup kepala)…”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila penutup itu berjauhan
dengan kepala maka diperbolehkan, seperti atap mobil atap rumah, tenda, payung
dan yang lainnya. Dalilnya :
عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ رضي الله عنها
قَالَتْ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ
أُسَامَةَ وَبِلاَلاً وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- وَالآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ لِيَسْتُرَهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ
الْعَقَبَةِ. رواه مسلم
Artinya:
“Ummul Hushain radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku pernah menunaikan haji bersama
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Haji Wada’, aku melihat Usamah
dan Bilal, salah seorang dari keduanya menuntut tali kekang onta Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang lain mengangkat kainnya untuk melindungi
beliau dari panas, sehingga beliau melempar Jumrah ‘Aqabah”. (HR. Muslim)
Dan kalau ia mempunyai udzur
keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak
berdosa.
4. Memakai
cadar atau kaos tangan bagi wanita.
Bagi wanita muhrim tidak
diperbolehkan menutup mukanya dan tidak boleh mengenakan sarung tangan.
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang
pakaian muhrim :
لاَ تَنْتَقِبُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ
الْقُفَّازَيْنِ .
Artinya:
“Seorang wanita muhrim tidak boleh memakai niqab dan dua sarung tangan”.
(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Kecuali apabila di depan para
laki-laki yang bukan mahram, maka tetap menutup mukanya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ
يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُحْرِمَاتٌ
فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا إِلَى وَجْهِهَا
فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ.
Artinya:
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Ada dua pengendara melewati
kami dan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan
muhrim, jika mereka melewati kami maka seorang dari kami mengulurkan jilbabnya
dari kepala sampai ke wajahnya, jika telah lewat maka kami buka (jilbab kami)”.
(HR. Abu Daud dan dihasankan haditsnya oleh Al Albani sebagai riwayat pembantu
di dalam Jilbabul Mar’ah)
Dan jika ia mengerjakan larangan
ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
a. Dia
berdosa
b. Wajib
baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci atau
memberi makan enam fakir miskin setiap orangnya setengah sha’ atau menyembelih
kambing.
Dan kalau ia mempunyai udzur
keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak
berdosa.
5. Memakai wewangian
Bagi
yang berihram dilarang memakai wangi-wangian, kecuali aroma yang tersisa yang
dipakai sebelum ihram. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنَ الثِّيَابِ
مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ
Artinya:
“Janganlah kalian memakai pakain yang terkena Za’faran (sejenis minyak wangi)
dan wars (tanaman yang digunakan untuk mewarnai sutera)”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dan jika ia mengerjakan larangan
ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
a. Dia
berdosa
b.. Wajib
baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau
memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih
kambing.
Dan kalau ia mempunyai udzur maka
ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.
6. Mencukur atau
menggundul rambut kepala
Dilarang
mengambil rambut kepala dengan cara dicukur, dicabut, dibakar atau cara yang
lain. Larangan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Dalilnya Firman
Alah Ta’ala :
وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى
يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ .
Artinya:
“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya”. (QS. Al Baqarah: 196).
Dan jika ia mengerjakan larangan
ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
a. Dia
berdosa
b. Wajib
baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau
memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih
kambing.
Dan kalau ia mempunyai udzur
keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak
berdosa.
7. Memotong
atau mencabut kuku
Dilarang
juga memotong atau mencabut kuku. Dalilnya diqiyaskan dengan mencukur rambut.
Dan jika ia mengerjakan larangan
ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
a. Dia
berdosa
b. Wajib
baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau
memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih
kambing.
Dan kalau ia mempunyai udzur
keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak
berdosa.
Tetapi jika kukunya pecah maka
diperbolehkan baginya mengambil yang menyakitinya dan tidak ada fidyah baginya.
8. Bercumbu
Saat ihram tidak diperbolehkan
bercumbu atau melakukan perbuatan yang mengawali persetubuhan seperti
bercengkrama yang menimbulkan syahwat, berpelukan, berciuman, berpegangan yang
disertai dengan syahwat. Dalilnya Firman Allah Ta’ala :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ.
Artinya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
(Al Baqarah: 197)
Dan jika larangan ini dilanggar
maka tidak ada ada fidyah baginya cuma ia harus bertaubat karena telah
melakukan salah satu larangan ihram.
9. Meminang
atau melakukan akad nikah
Selama ihram tidak diperbolehkan
meminang atau melakukan akad nikah. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
لا يَنْكِحُ المحرِمُ، ولا يُنْكِح، ولا
يخطب [ولا يُخطب عليه].
Artinya:
“Seorang muhrim tidak menikahi atau menikahkan atau melamar (atau dilamar).
(HR. Muslim)
Dan jika larangan ini dilanggar
maka tidak ada ada fidyah baginya akan tetapi dia harus bertaubat karena telah
melakukan salah satu larangan ihram.
10. Berbuat
kekerasan seperti bertengkar, berkelahi dan semisalnya
Dilarang dalam ibadah haji
melakukan kefasikan, dalilnya Firman Allah Ta’ala :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
(QS. Al Baqarah: 197)
11. Berburu
binatang darat
Apabila seseorang yang berihram
berburu binatang darat, maka dia dihukum dengan :
Menyembelih
binatang ternak yang setara dan mirip dengan binatang buruannya, seperti
apabila membunuh kijang dia harus menyembelih kambing yang bukan domba dan
seterusnya.Yang menentukan kemiripan ini adalah dua orang yang adil (shalih).
Apabila tidak mendapatkan binatang
ternak yang setara maka memilih salah satu diantara dua hal:
a. Buruan itu dihargai dengan uang dan uang itu dipakai untuk membeli makanan yang
disedekahkan bagi fakir miskin untuk setiap miskin setengah sha’ (sekitar dua
setengah liter).
b. Atau memperkirakan harganya kalau dipakai membeli makanan mendapatkan berapa
sha’, lalu untuk setiap sha’ berpuasa satu hari.
Dalil Firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاء
مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ
الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ
وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا الله عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ الله مِنْهُ والله
عَزِيزٌ ذُو انْتِقَام.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika
kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya
yang di bawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi
makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa”. (QS. Al Maidah: 95)
Pembagian
- Pembagian Penting :
Pelaku
larangan ihram tidak melebihi tiga keadaan :
a. Pelaku
sengaja dan tidak ada alasan, maka dia harus bayar fidyah dan berdosa.
b. Pelaku
sengaja dan mempunyai alasan yang dibenarkan syariat, maka dia harus bayar
fidyah dan tidak dianggap berdosa.
c. Pelaku
tidak sengaja, tidak mengetahui, dipaksa atau dalam keadaan tidur, maka dia
tidak dikenakan sangsi apa-apa, meskpun dia bersetubuh.
d. Pelaku
Pembagian
Larangan Ihram berdasarkan fidyah :
a. Larangan
ihram yang tidak ada fidyah, seperti akad nikah.
b. Larangan
ihram yang fidyahnya menyembelih onta atau sapi adalah bersetubuh sebelum
tahallul awal.
c. Larangan
ihram yang fidyahnya menyembelih hewan sepertinya, atau semisal dengannya atau
bersedekah dengan seharganya adalah berburu hewan buruan darat yang liar.
d. Larangan
ihram yang fidyahnya boleh menyembelih kambing, atau puasa 3 hari di tanah suci
atau memberi makan kepada 6 fakir miskin adalah; mencukur rambut, mengunting
kuku, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki dan memakai pakaian
yang berjahit.
Pengertian Wukuf
Secara
etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata
yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu
(Ibnu Manzhur: 9/359). Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang
dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada
perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan
yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Definisi
Wakaf Menurut Ahli Fiqih Adalah Sebagai Berikut :
Pertama,
Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif
dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan
untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut
menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di
tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta
tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua,
Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
(walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Dalil
Tentang Wukuf
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain:
"Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
"Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92)
"Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui."
(Q.S al-Baqarah:261).
Pengertian
Menafkahkan harta dijalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan
tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Artinya
:
"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta
petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah
di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka,
kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
"kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual,
tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta" (HR. Muslim).
Dalil
Ijma
Imam
Al-Qurthuby berkata : Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah
disepakati) diantara para sahabat Nabi ; yang demikian karena Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir,
seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah
maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir
Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan
Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
Jabir
berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan
kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185,
Al-Zarkasyi 4/269).
Ibnu
Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah
2/52).
Imam
Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi
dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam
Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.
Imam
Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan
sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun
wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no.
1375).
Imam
Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari
generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin;
mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf
harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik
di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang
mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang mencabut
kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat: Syarh
Al-Sunnah 8/288).
Imam
Ibn Hazm berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota
Madinah lebih masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak
mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180).
Hukum
wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus
selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits :
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ
اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ
صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya :
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
(macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan,
atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Harta
yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi,
harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang
artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar
bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku
sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah
tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar
menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak
dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
a. Diwakafkan
untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
b. Tunai
tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya,
“Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”.
Hal ini disebut tanjiz
c. Jelas
mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang
diwakafkan (mauquf) itu.
3. MABIT DI MUZDALIFAH
Alasan
wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir
di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
“Maka
apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Dalam hadits Ibnu
‘Abbas, beliau berkata,
أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
“Aku
adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada
malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan
Muslim no. 1295)
Mabit
di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada
kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib
menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita
katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini
ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang
mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10
Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah,
maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama
Syafi’iyah.”
Jadi
barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan
harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga
tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan
harta, maka ia tidak dikenai kewajiban damkarena adanya uzur. Demikian
fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah
(Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang
disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di
sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di
antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga
bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan
malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu
Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj,
409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah
tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti
meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib
membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).
4. LEMPAR TIGA JUMRAH
Yang
dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah,
melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih
tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ
عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari
tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari,
maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan
(keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi
orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu
akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203). Yang dimaksud berdzikir di
sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al
Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah
dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah
waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho
dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat
(waktu zawal).
5. MABIT DI MINA
Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam
sabdanya,
وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ
“Pendekkanlah
rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)
Mencukur
atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji
dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini
adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut
yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati
hamba-hamba-Nya yang sholeh,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan
mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq)
adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu
berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan
hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah
itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam(Ar Rofiq
fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut
dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya
mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar
Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan
wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah
dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
6. TAWAF IBADAH
Thowaf
adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan
hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat
- Syarat Thowaf :
Berniat
ketika melakukan thowaf
a. Suci dari hadats (menurut pendapat
mayoritas ulama).
b. Menutup aurat karena thowaf itu
seperti shalat.
c. Thowaf dilakukan di dalam masjid
walau jauh dari Ka’bah.
d. Ka’bah berada di sebelah kiri orang
yang berthowaf.
e. Thowaf dilakukan sebanyak tujuh
kali putaran.
f. Thowaf dilakukan berturut-turut
tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
g. Memulai thowaf dari Hajar Aswad.
Sunnah
- Sunnah Ketika Thowaf, Yaitu :
a. Ketika
memulai putaran pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar. Allahumma
iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika, wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an
li sunnati nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan setiap
putaran bertakbir ketika bertemu Hajar Aswad bertakbir “Allahu akbar”.
b. Menghadap
Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir ketika
menghadap Hajar Aswad.
c. Memulai
thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai thowaf
dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar
Aswad tidaklah wajib.
d. Istilam (mengusap)
dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan pada setiap putaran.
Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan
menempelkan mulut pada tangannya dan menciumnya.
e. Roml,
yaitu berjalan cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini disunnahkan bagi
laki-laki, tidak bagi perempuan. Roml dilakukan ketika thowaf qudum
(kedatangan) atau thowaf umroh pada tiga putaran pertama.
f. Idh-tibaa’,
yaitu membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada thowaf qudum
(kedatangan) atau thowaf umroh dan dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada
perempuan.
g. Istilam (mengusap)
rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di
hadapannya. Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan
untuk diusap.
h. Berdo’a
di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
di antara dua rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti
hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab neraka).”
(HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
i. Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki
dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan.
j. Menjaga pandangan dari berbagai hal yang
melalaikan.
k. Berdzikir
dan berdo’a secara siir (lirih).
l. Membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa
mengeraskan suara.
m. Beriltizam
pada Multazam. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa
sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya
yang kanan, kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada
dinding tersebut. Ini semua dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah
tersebut yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat terkabulnya do’a
berdasarkan haditsyang
derajatnya hasan. Kata Syaikh As Sadlan (Taisirul Fiqih,
347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah selesai thowaf dan multazam terletak
antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad.”
n. Melaksanakan
shalat dua raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim. Ketika itu setelah
membaca Al Fatihah pada raka’at pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun
dan rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas. Ketika melaksanakan
shalat ini, pundak tidak lagi dalam keadaan idh-tibaa’.
o. Minum
air zam-zam dan menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan shalat dua
raka’at sesudah thowaf.
p. Kembali
mengusap Hajar Aswad sebelum menuju ke tempat sa’i.
7. SA'I
Sa’i
adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْعَوْا إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ
السَّعْىَ
“Lakukanlah
sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6:
421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Syarat
Sa’i :
a. Niat.
b. Berurutan
antara thowaf, lalu sa’i.
c. Dilakukan
berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu sebentar antara
putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-benar butuh.
d. Menyempurnakan
hingga tujuh kali putaran.
e. Dilakukan
setelah melakukan thowaf yang shahih.
a. Ketika
mendekati Shofa, mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min sya’airillah.
Abda-u bimaa badaa-allahu bih.”
b. Berhenti
sejenak di antara Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu mengucapkan, “Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa ilaha
illallahu wahdah, shodaqo wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba
wahdah.” Ketika di Marwah melakukan hal yang sama.
c . Berlari
kencang antara dua lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
d. Berdo’a
dengan do’a apa saja di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a, dzikir atau
bacaan tertentu.
e. Berturut-turut
sa’i dilakukan setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu yang lama
kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.
8. TAHALLUL
Tahallul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (Dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram.
Tahallul Umrah ditandai dengan menggunting atau mencukur rambut paling sedikit 3 kali helai rambut merupakan salah satu amalan ibadah dalam manasik haji atau umrah.
Pelaksanaan Menggunting Atau Mencukur Rambut :
1. Dalam ibadah haji, pada hari Nahar setelah melontar jumrah aqabah. Bagi yang mendahulukan thawaf ifadah, dilakukan setelah thawaf ifadah dan sa'i boleh diundur sampai kapan pada hari - hari tasyriq.
2. Dalam ibadah umrah, menggunting atau mencukur rambut dilaksanakan setelah sa'i.
Tahallul Ada 2 Macam :
1. Tahallul Awal adalah keadaan seseorang yang telah melakukan dua diantara tiga perbuatan yaitu : Melontar jumrah Aqabah dan bercukur, atau melontar junrah Aqabah dan Thawaf ifadah serta sa'i atau thawaf ifadah dan sa'i dan bercukur. Sesudah tahallul wal seseorang berganti pakaian biasa dan memakai wangi - wangian, dan boleh mengerjakan semua yang dilarang selama ihram, akan tetapi masih dilarang bersetubuh dengan istri atau suami.
2. Tahallul Tsani adalah keadaan seseorang yang telah melakukan ketiga perbuatan yaitu : melontar jumrah Aqabah, bercukur, dan thawaf ifadah serta sa'i. Bagi yang sudah melakukan sa'i setelah thawaf Qudum (untuk Haji ifrad dan qiran) tidak perlu melakukan sa'i setelah thawaf ifadah. Sesudah tahallul tsani seorang jamaah boleh bersetubuh dengan suami dan istri.
9. Tawaf Wada
Thowaf
wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah,
1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka
ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ
بِالْبَيْتِ
“Janganlah
seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah
thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ
إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Orang-orang
diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah
kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).
Sebagian
ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa
mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu
thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan
dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat
Mutanawwi’ah, jilid ke-17).
Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah
tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena
thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan
setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’ihaji.
Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa
no. 58685).
Thowaf
wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah
dan wanita haidh
tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah,
1: 519).