Rabu, 09 Januari 2013

AGAMA ISLAM

URUTAN - URUTAN HAJI

1. IHRAM


Pengertian Ihram

        Ihram secara bahasa berasal dari kata أحرم يحرم إحراماً, yaitu seseorang jika berniat haji atau umrah dan melaksanakan sebab dan syarat-syaratnya, siapa yang telah melepaskan pakaian yang membentuk tubuhnya dan menjauhi seluruh perkara yang dilarang syariat Islam ketika ihram, seperti; minyak wangi, nikah, berburu dan semisalnya, berarti dia berihram.

a. Dianjurkan memotong kuku, menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Fitrah manusia ada lima; khitan, menghabiskan bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis”. (HR. Bukhari dan Muslim).


b. Dianjurkan mandi yang mengangkat hadats besar.

عَنْ ثَابِتٍ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ.

Artinya: “Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan pernah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan pakaiannya dan mandi untuk berihram”. (HR. Tirmidzi)

Bahkan wanita haid dan nifaspun dianjurkan mandi untuk berihram :

قَالَ النبي صلى الله عليه و سلم لأسماء بنت عميس رضي الله عنها « اغْتَسِلِى وَاسْتَثْفِرِى بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِى ».

Artinya : “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam bersabda kepada Asma binti Umais yang sedang nifas dan ingin berihram: “Mandi, tutup dengan pembalut dan beihramlah”. (HR. Muslim).

   c. Dianjurkan memakai minyak wangi di kepala, janggut dan badan.


عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِى رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ.

      Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ingin berihram beliau memakai minyak wangi paling wangi yang beliau dapati, maka aku melihat bekas minyak wangi tersebut di kepala dan jenggot beliau setelah”. (HR. Muslim)

   d. Untuk laki-laki berihram dengan memakai dua kain ihram, dan diutamakan berwarna putih karena dia adalah warna sebaik-baik pakaian.


عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما, قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: « وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِى إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ ».

     Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya salah seorang dari kalian berihram di dalam (memakai) kain sarung, surban dan dua sandal”. (HR. Ahmad).

    Untuk wanita diperbolehkan memakai pakaian apa saja yang diperbolehkan oleh syari’at ketika keluar rumah.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ : الْمُحْرِمَةُ تَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَا شَاءَتْ إِلاَّ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ وَلاَ تَتَبَرْقَعُ وَلاَ تَلَثَّمُ وَتَسْدُلُ الثَّوْبَ عَلَى وَجْهِهَا إِنْ شَاءَتْ.
     
   Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wanita muhrim memakai dari pakaian apa saja yang dia kehendaki kecuali pakaian yang terkena wars (tanaman kuning yang dipakai untuk mewarnai kain) atau za’faran, dan tidak boleh memakai burqu’ (sesuatu yang dipakai menutupi wajah sehingga hampir menutup mata), tidak menutup mulut, dan menjulurkan kain di atas wajahnya jika dia menginginkan”. (HR. Al Baihaqi dan dishahihkan di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/212).

  e. Ketika sudah di atas kendaraan menghadap kiblat dan berniat di dalam hati untuk melakukan manasik.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ أَهَلَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ قَائِمَةً .

    Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berihram ketika hewan tunggangannya berdiri tegak”. (HR. Bukhari)

     Bagi yang berhaji tamattu’ berniat melaksanakan ibadah umrah, dan mengucapkan: “Allahumma labbaika ‘umratan atau Labbaika Umratan”.

    Bagi yang haji qiran berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan dan mengucapkan: “Allahumma labbaika umratan wa hajjan atau labbaika umratan wa hajjan “,

      sedangkan bagi yang haji ifrad berniat melaksanakn ibadah haji saja dan mengatakan: “Labbaika hajjan atau Allahumma labbaika hajjan”.

   f. Apabila khawatir tidak bisa menyempurnakan umrah maupun hajinya, disyari’atkan mengucapkan:

إِنْ حَبَسَنِيْ حَابِسٌ فَمَحِلّيِ حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ

      Artinya: “Jika ada sesuatu yang menghalangiku maka tempat bertahallulku dimana Engkau menahanku”. (HR. Bukhari dan Muslim).

      Mulai di sini dia merupakan orang yang berihram atau disebut Muhrim.

      Dan semenjak itu disunnahkan baginya membaca talbiyah :

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ“

      Disunnahkan untuk mengeraskan talbiyah bagi laki-laki,

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَاءَنِى جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ ».

   Artinya: “Zaid bin Khalid al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah mendatangiku, lalu berkata: “Wahai Muhammad perintahkan shahabat-shahabatmu agar mengangkat suara mereka dengan mengucapkan talbiyah, karena sesungguhnya ia adalah syiar haji”. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 830)

    Sedang bagi wanita hanya dengan suara yang rendah. Talbiyah ini terus dibaca dan berhenti sampai ingin melaksanakan thawaf

      Dan semenjak itu pula sudah diberlakukan baginya larangan-larangan ihram, diantaranya :

    1. Bersetubuh sebelum tahallul awal. Dalilnya Firman Allah Ta’ala :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (QS. Al Baqarah: 197).

      Barangsiapa bersetubuh sebelum tahallul awal, maka :

a.  Dia berdosa
b.  Hajinya telah batal
c.  Harus melanjutkan sisa manasik haji
d.  Wajib melaksanakan haji pada tahun selanjutnya
e. Wajib membayar fidyah dengan menyembelih sapi atau onta lalu dibagikan kepada para fakir di tanah suci dan tidak memakan darinya.

  Namun bila bersetubuh setelah tahallul awal dan belum melakukan thawaf ifadhah:

a. Dia berdosa
b.  Hajinya sah
c. Dia harus memperbarui ihram dia yaitu dengan pergi keluar tanah haram dengan pakaian ihram memulai ihram di sana kemudian ke Makkah untuk thawaf Ifadhah.
d. Dia juga diwajibkan membayar fidyah, yaitu menyembelih kambing dan dibagikan kepada fakir miskin di tanah suci dan tidak memakan darinya.

      Apabila seorang istri dipaksa bersetubuh oleh suaminya maka dia tidak terkena hukuman apabila telah menolak semampu mungkin.

       Apabila seseorang ihram bersetubuh karena lupa maka tidak terkena hukuman.

     2. Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki.

  Bagi orang laki-laki yang sedang ihram tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berjahit.

  Maksud dari pakaian berjahit adalah pakaian yang dibuat sesuai dengan bentuk badan. Maka tidak diperbolehkan memakai kemeja, celana luar maupun dalam, sorban, topi, peci, jubah, ghamis, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala), sepatu yang menutupi mata kaki, kaos tangan maupun kaki dan yang sejenisnya.

 Dalilnya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam ketika ditanya tentang pakaian muhrim :

لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

     Artinya: “Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala) serta sepatu khuf (yang menutupi dua mata kaki) kecuali seseorang yang tidak mempunyai sandal, maka hendaknya ia memakai sepatu khuf dan memotong di bawah dua mata kaki”. (HR. Bukhari dan Muslim)

  Dan jika ia mengerjakan larangan ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :

    a.  Dia berdosa
          b. Wajib baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci atau memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’ atau menyembelih kambing.

  Dan kalau ia mempunyai udzur keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.

3. Menutup kepala bagi laki-laki.

 Yang dimaksud penutup kepala seperti: peci, topi, sorban atau lainnya yang menutup dan menempel di kepala. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang pakaian muhrim :

لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ

    Artinya: “Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala)…”. (HR. Bukhari dan Muslim)

  Apabila penutup itu berjauhan dengan kepala maka diperbolehkan, seperti atap mobil atap rumah, tenda, payung dan yang lainnya. Dalilnya :

عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ رضي الله عنها قَالَتْ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلاَلاً وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَالآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ لِيَسْتُرَهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ. رواه مسلم

    Artinya: “Ummul Hushain radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku pernah menunaikan haji bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Haji Wada’, aku melihat Usamah dan Bilal, salah seorang dari keduanya menuntut tali kekang onta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang lain mengangkat kainnya untuk melindungi beliau dari panas, sehingga beliau melempar Jumrah ‘Aqabah”. (HR. Muslim)

Dan kalau ia mempunyai udzur keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.


4. Memakai cadar atau kaos tangan bagi wanita.

Bagi wanita muhrim tidak diperbolehkan menutup mukanya dan tidak boleh mengenakan sarung tangan. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang pakaian muhrim :

لاَ تَنْتَقِبُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ .

Artinya: “Seorang wanita muhrim tidak boleh memakai niqab dan dua sarung tangan”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Kecuali apabila di depan para laki-laki yang bukan mahram, maka tetap menutup mukanya. Dalilnya :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا إِلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ.

Artinya: “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Ada dua pengendara melewati kami dan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan muhrim, jika mereka melewati kami maka seorang dari kami mengulurkan jilbabnya dari kepala sampai ke wajahnya, jika telah lewat maka kami buka (jilbab kami)”. (HR. Abu Daud dan dihasankan haditsnya oleh Al Albani sebagai riwayat pembantu di dalam Jilbabul Mar’ah)

Dan jika ia mengerjakan larangan ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :

 a.  Dia berdosa
 b. Wajib baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci atau memberi makan enam fakir miskin setiap orangnya setengah sha’ atau menyembelih kambing.

Dan kalau ia mempunyai udzur keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.

  5. Memakai wewangian

       Bagi yang berihram dilarang memakai wangi-wangian, kecuali aroma yang tersisa yang dipakai sebelum ihram. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنَ الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ

     Artinya: “Janganlah kalian memakai pakain yang terkena Za’faran (sejenis minyak wangi) dan wars (tanaman yang digunakan untuk mewarnai sutera)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

       Dan jika ia mengerjakan larangan ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :

    a.   Dia berdosa
   b.. Wajib baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih kambing.

    Dan kalau ia mempunyai udzur maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.

6. Mencukur atau menggundul rambut kepala

     Dilarang mengambil rambut kepala dengan cara dicukur, dicabut, dibakar atau cara yang lain. Larangan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Dalilnya Firman Alah Ta’ala :

وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ .

       Artinya: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya”. (QS. Al Baqarah: 196).

      Dan jika ia mengerjakan larangan ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :

     a. Dia berdosa
    b. Wajib baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih kambing.

      Dan kalau ia mempunyai udzur keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.


    7.  Memotong atau mencabut kuku

Dilarang juga memotong atau mencabut kuku. Dalilnya diqiyaskan dengan mencukur rambut.

Dan jika ia mengerjakan larangan ini dengan sengaja tanpa ada udzur maka :
    
    a. Dia berdosa
   b. Wajib baginya menebus fidyah baik dengan berpuasa tiga hari di tanah suci, atau memberi makan enam fakir miskin setiap orang setengah sha’, atau menyembelih kambing.

      Dan kalau ia mempunyai udzur keperluan maka ia wajib membayar fidyah yang disebutkan di atas tapi ia tidak berdosa.

     Tetapi jika kukunya pecah maka diperbolehkan baginya mengambil yang menyakitinya dan tidak ada fidyah baginya.

    8. Bercumbu

     Saat ihram tidak diperbolehkan bercumbu atau melakukan perbuatan yang mengawali persetubuhan seperti bercengkrama yang menimbulkan syahwat, berpelukan, berciuman, berpegangan yang disertai dengan syahwat. Dalilnya Firman Allah Ta’ala :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ.

        Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al Baqarah: 197)


     Dan jika larangan ini dilanggar maka tidak ada ada fidyah baginya cuma ia harus bertaubat karena telah melakukan salah satu larangan ihram.

   9. Meminang atau melakukan akad nikah

     Selama ihram tidak diperbolehkan meminang atau melakukan akad nikah. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : 

لا يَنْكِحُ المحرِمُ، ولا يُنْكِح، ولا يخطب [ولا يُخطب عليه].

      Artinya: “Seorang muhrim tidak menikahi atau menikahkan atau melamar (atau dilamar). (HR. Muslim)

        Dan jika larangan ini dilanggar maka tidak ada ada fidyah baginya akan tetapi dia harus bertaubat karena telah melakukan salah satu larangan ihram.

   10. Berbuat kekerasan seperti bertengkar, berkelahi dan semisalnya

  Dilarang dalam ibadah haji melakukan kefasikan, dalilnya Firman Allah Ta’ala :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

        Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (QS. Al Baqarah: 197)

  11. Berburu binatang darat

       Apabila seseorang yang berihram berburu binatang darat, maka dia dihukum dengan :

     Menyembelih binatang ternak yang setara dan mirip dengan binatang buruannya, seperti apabila membunuh kijang dia harus menyembelih kambing yang bukan domba dan seterusnya.Yang menentukan kemiripan ini adalah dua orang yang adil (shalih).

     Apabila tidak mendapatkan binatang ternak yang setara maka memilih salah satu diantara dua hal:

  a. Buruan itu dihargai dengan uang dan uang itu dipakai untuk membeli makanan yang disedekahkan bagi fakir miskin untuk setiap miskin setengah sha’ (sekitar dua setengah liter).
  b. Atau memperkirakan harganya kalau dipakai membeli makanan mendapatkan berapa sha’, lalu untuk setiap sha’ berpuasa satu hari.

  Dalil Firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا الله عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ الله مِنْهُ والله عَزِيزٌ ذُو انْتِقَام.

     Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. (QS. Al Maidah: 95)

      Pembagian - Pembagian Penting :

     Pelaku larangan ihram tidak melebihi tiga keadaan :

   a. Pelaku sengaja dan tidak ada alasan, maka dia harus bayar fidyah dan berdosa.
  b. Pelaku sengaja dan mempunyai alasan yang dibenarkan syariat, maka dia harus bayar fidyah dan tidak dianggap berdosa.
  c. Pelaku tidak sengaja, tidak mengetahui, dipaksa atau dalam keadaan tidur, maka dia tidak dikenakan sangsi apa-apa, meskpun dia bersetubuh.
  d. Pelaku

      Pembagian Larangan Ihram berdasarkan fidyah :

a. Larangan ihram yang tidak ada fidyah, seperti akad nikah.
b. Larangan ihram yang fidyahnya menyembelih onta atau sapi adalah bersetubuh sebelum tahallul awal.
c. Larangan ihram yang fidyahnya menyembelih hewan sepertinya, atau semisal dengannya atau bersedekah dengan seharganya adalah berburu hewan buruan darat yang liar.
d. Larangan ihram yang fidyahnya boleh menyembelih kambing, atau puasa 3 hari di tanah suci atau memberi makan kepada 6 fakir miskin adalah; mencukur rambut, mengunting kuku, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki dan memakai pakaian yang berjahit.

2. WUKUF



Pengertian Wukuf

Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.

Definisi Wakaf Menurut Ahli Fiqih Adalah Sebagai Berikut :

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Dalil Tentang Wukuf

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92)

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui." (Q.S al-Baqarah:261).

Pengertian Menafkahkan harta dijalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.


Artinya : 

"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).

Dalil Ijma

Imam Al-Qurthuby berkata : Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi ; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180). 

Jabir berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185, Al-Zarkasyi 4/269).

Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52). 

Imam Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia. 

Imam Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375). 

Imam Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin; mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang mencabut kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat: Syarh Al-Sunnah 8/288).

Imam Ibn Hazm berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota Madinah lebih masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180).

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits :



اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)





Artinya : “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Syarat - Syarat Wakaf :

a. Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
b. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
c. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu.

3. MABIT DI MUZDALIFAH


Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

“Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib.  Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga  tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban damkarena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).

4. LEMPAR TIGA JUMRAH



 Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

5. MABIT DI MINA


Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,

وَلْيُقَصِّرْ ، وَلْيَحْلِلْ

“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).

6. TAWAF IBADAH




Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat - Syarat Thowaf :

Berniat ketika melakukan thowaf

a.  Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama).
b. Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat.
c. Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah.
d. Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf.
e. Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran.
f. Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
g. Memulai thowaf dari Hajar Aswad.

Sunnah - Sunnah Ketika Thowaf, Yaitu :

a. Ketika memulai putaran pertama mengucapkan, “Bismillah, wallahu akbar. Allahumma iimaanan bika, wa tashdiiqon bi kitaabika, wa wafaa-an bi’ahdika, wat tibaa’an li sunnati nabiyyika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dan setiap putaran bertakbir ketika bertemu Hajar Aswad bertakbir “Allahu akbar”.

b. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad.

c. Memulai thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Memulai thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib.

d. Istilam (mengusap) dan mencium Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan pada setiap putaran. Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan mulut pada tangannya dan menciumnya.

e. Roml, yaitu berjalan cepat dengan langkah kaki yang pendek. Roml ini disunnahkan bagi laki-laki, tidak bagi perempuan. Roml dilakukan ketika thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh pada tiga putaran pertama.

f. Idh-tibaa’, yaitu membuka pundak sebelah kanan. Hal ini dilakukan pada thowaf qudum (kedatangan) atau thowaf umroh dan dilakukan oleh laki-laki saja, tidak pada perempuan.

g. Istilam (mengusap) rukun Yamani. Rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di hadapannya. Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk diusap.

h. Berdo’a di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

i. Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan.

j.  Menjaga pandangan dari berbagai hal yang melalaikan.

k. Berdzikir dan berdo’a secara siir (lirih).

l. Membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa mengeraskan suara.

m. Beriltizam pada Multazam. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan, kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut yaitu Allah Ta’ala. Multazam juga di antara tempat terkabulnya do’a berdasarkan haditsyang derajatnya hasan. Kata Syaikh As Sadlan (Taisirul Fiqih, 347-348), “Berdo’a di multazam disunnahkan setelah selesai thowaf dan multazam terletak  antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad.”

n. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah thowaf di belakang maqom Ibrahim. Ketika itu setelah membaca Al Fatihah pada raka’at pertama, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua, disunnahkan membaca surat Al Ikhlas. Ketika melaksanakan shalat ini, pundak tidak lagi dalam keadaan idh-tibaa’.

o.  Minum air zam-zam dan menuangkannya di atas kepala setelah melaksanakan shalat dua raka’at sesudah thowaf.

p. Kembali mengusap Hajar Aswad sebelum menuju ke tempat sa’i.

7. SA'I




Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْعَوْا إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ

“Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Syarat Sa’i :

a.  Niat.
b. Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.
c. Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-benar butuh.
d. Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
e. Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.

Sunnah - Sunnah Sa’i :

a. Ketika mendekati Shofa, mengucapkan, “Innash shofaa wal marwata min sya’airillah. Abda-u bimaa badaa-allahu bih.”
b. Berhenti sejenak di antara Shafa untuk berdo’a. Menghadap kiblat lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdah, shodaqo wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaaba wahdah.”  Ketika di Marwah melakukan hal yang sama.
c . Berlari kencang antara dua lampu hijau bagi laki-laki yang mampu.
d. Berdo’a dengan do’a apa saja di setiap putaran, tanpa dikhususkan dengan do’a, dzikir atau bacaan tertentu.
e. Berturut-turut sa’i dilakukan setelah thowaf, tidak dilakukan dengan selang waktu yang lama kecuali jika ada uzur yang dibenarkan.

8. TAHALLUL


Tahallul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (Dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram.


Tahallul Umrah ditandai dengan menggunting atau mencukur rambut paling sedikit 3 kali helai rambut merupakan salah satu amalan ibadah dalam manasik haji atau umrah.

Pelaksanaan Menggunting Atau Mencukur Rambut :

1. Dalam ibadah haji, pada hari Nahar setelah melontar jumrah aqabah. Bagi yang mendahulukan thawaf ifadah, dilakukan setelah thawaf ifadah dan sa'i boleh diundur sampai kapan pada hari - hari tasyriq.
2. Dalam ibadah umrah, menggunting atau mencukur rambut dilaksanakan setelah sa'i.

Tahallul Ada 2 Macam :

1. Tahallul Awal adalah keadaan seseorang yang telah melakukan dua diantara tiga perbuatan yaitu : Melontar jumrah Aqabah dan bercukur, atau melontar junrah Aqabah dan Thawaf ifadah serta sa'i atau thawaf ifadah dan sa'i dan bercukur. Sesudah tahallul wal seseorang berganti pakaian biasa dan memakai wangi - wangian, dan boleh  mengerjakan semua yang dilarang selama ihram, akan tetapi masih dilarang bersetubuh dengan istri atau suami.

2. Tahallul Tsani adalah keadaan seseorang yang telah melakukan ketiga perbuatan yaitu : melontar jumrah Aqabah, bercukur, dan thawaf ifadah serta sa'i. Bagi yang sudah melakukan sa'i setelah thawaf Qudum (untuk Haji  ifrad dan qiran) tidak perlu melakukan sa'i setelah thawaf ifadah. Sesudah tahallul tsani seorang jamaah boleh bersetubuh dengan suami dan istri.

9. Tawaf Wada


Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

“Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no. 1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). 

Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’ihaji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar