Minggu, 27 Januari 2013

NOVEL

LAYAR TERKEMBANG

Novel Sutan Takdir Alisyahbana

Pukul tujuh pagi - pagi keesokan harinya Yusuf meninggalkan hotel Pasundan, naik sado menuju ke Groote Lengkongweg. Tiba di hadapan sebuah rumah yang kecil indah, disuruhnya sado berhenti dan ia pun turunlah.

Dari tanah naik menjalar batang bougainville yang rimbun sedang berbunga, lembayung merah yang mesra yang amat permai rupanya terbayang pada cat rumah yang putih bersih itu. Di halaman rumah yang tiada berapa besarnya itu amat banyak tumbuh palem dan bunga, bersesak - sesak, oleh karena rupanya penghuni rumah yang rajin itu hendak memakai tiap - tiap telempap tanah untuk memuaskan kesukannya akan bunga dan tumbuh - tumbuhan. Oleh sekaliannya itu pemandangan dari jalan ke beranda rumah itu terpecah - pecah, tiada nyata.

Perlahan - lahan Yusuf masuk ke pekarangan melalui jalan kecil yang berbatu - batu, kiri kanan diapit oleh batang kecil - kecil berdaun merah dan hijau. Sampai di tangga ia berhenti sejurus melihat - lihat. Dari dalam tak kedengaran suatu suara jua pun, seolah - olah rumah itu tidak di diami orang. Maka berserulah ia agak kuat, "Sepeda !"

Suaranya hilang lenyap masuk ke dalam, tiada berjawab beberapa lamanya. Lalu ia berseru sekali lagi, lebih kuat dan tegas. Dari dalam suara halus menyahut, "Ya," dan tak berapa lama antaranya keluar dari pintu yang terbuka itu seorang perawan memakai kebaya pual kuning muda berbunga cokelat, rupanya telah siap hendak berjalan.

Setelah ia menganggukan kepalanya sambil menggumam beberapa perkataan yang tak nyata kedengaran, tetapi yang terang maksudnya hendak memberi tabik, bertanyalah Yusuf, "Zus, bolehkah saya bertanya, di sinikah tinggal Zus Maria ? "

"Ya, betul di sini, "Jawab perawan itu, "tunggulah sebentar." Dan belum habis perkataannya, ia telah lenyap pula masuk ke dalam meninggalkan Yusuf seorang diri di luar.

Yusuf mengedarkan matanya mengamat - amati beranda itu. Sebuah meja jati yang berdaun marmer dan berkaki lengkung berdiri di tengah - tengah. Di atasnya melintang menjuntai kain alas meja putih bersih yang bersulam tepinya. Diatasnya terletak jambangan tanah liat yang berkilat yang berbunga - bunga dan berisikan sedap malam yang masih segar seperti baru dipetik. Di empat penjuru beranda itu terdapat pot kuningan yang berisi kembang begonia merah jambu di atas setandar yang tinggi dan ramping : Di antara gambar di dinding tergantung dua pot porselin yang berbunga - bunga, melekap ke dinding seperti bambu dibelah. Dari dalamnya tergantung ke bawah tumbuhan yang hijau muda, tebal kecil - kecil daunya.

Tak berapa lama antarannya, perawan tadi keluar pula dari dalam, sambil berkata dengan senyum yang ditahan - tahan.

"Ia baru bangun dari tidur. Tetapi duduklah Tuan sebentar." Belum habis perkatannya itu, dari balik pintu tersembul kepada perempuan, takut berani melihat keluar. Tetapi tiba - tiba perempuan itu melangkah ke luar dan sambil tersenyum kemalu - maluan Maria menuju kepada Yusuf mengulurkan tangannya, "Hallo, engkau Yusuf ! dari manakah datangmu sekonyong - konyong ini ? " Apabila engkau sampai kemari ?"

Perkataan yang di ucapkannya dengan kebenaran itu seakan - akan terlompat dari mulutnya, tak sengaja tak tertahan - tahan. Mukanya yang lusuh bangun  dari tidur itu bercahaya - cahaya mendegar Yusuf menceritakan kedatangan yang tak disangka - sangkannya itu. Sejurus lupa ia bahwa ia belum mandi dan berpakaian dengan sepertinya. Tetapi ketika ia teringat kembali akan itu, merahlah mukanya dan berkatalah ia sambil tersenyum, sehingga kelihatanlah susunan giginya yang putih, "Ah saya belum mandi lagi. Seperti ini pergi ke luar. "Yang akhir ini diucapkannya seraya memandang kepada Kimono biru berbunga putih besar - besar, yang berjabir - jabir melilit badannya yang ramping. Sudah itu katanya pula, "Duduklah dahulu, boleh saya pergi mandi sebentar."

Tetapi ketika ia hendak masuk, ingatlah ia bahwa ia belum memperkenalkan Yusuf dengan saudara sepupunya yang selama itu berdiri tak berapa jauh dari meja. Ia pun berbalik dan berkata pula, "Engkau berdua belum tentu berkenalan. Ia saudara sepupu saya, Rukamlah. "Dan sambil melihat kepada Rukamlah katanya, "Kenalan kami dari Jakarta, Yusuf, setuden pada sekolah Tabib Tinggi."

Yusuf dan Rukamah sama - sama menganggukan kepala memberi hormat kepada masing - masing.

Ketika itu keluar pula Tuti. Setelah ia bersalam dengan Yusuf, melihatlah ia kepada Maria, seraya berkata dengan bencinya, "Setinggi ini hari belum mandi lagi. Dan ia berani pula ke luar."

MukaMaria merah mendengar kata saudarannya itu dan sambil tersenyum kemalu - maluan, katanya, "Temanilah Yusuf, saya pergi mandi dulu. "dan ia pun lenyaplah ke dalam.

Rukamah minta maaf kepada Yusuf karena ia harus pergi ke kantor. Setelah Rukamah turun, duduklah Tuti diatas kursi berhadapan dengan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, "Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari."

"Ah, dalam libur, apa salahnya !" Kata Yusuf.

"Apa salahnya ? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa bangun dan menyelesaikan diri pagi - pagi lebih baik."

"Tentu, tetapi sekali - kali, apa salahnya jika kita melanggar kebiasaan itu ?"

"Saya juga sebenarnya tiada menyalahkan orang yang sekali - kali bangun siang hari. Tetapi yang sebenarnya menggusurkan saya melihat orang bangun siang hari itu, ialah oleh karena hal itu menunjukkan sesuatu yang tidak baik. Bangsa kita yang bersahaja di desa - desa, yang tidak pernah masuk sekolah boleh dikatakan tidak pernah bangun siang hari, apalagi perawan - perawannya. Bangun siang hari itu keliatan kepada saya sebagai sesuatu penyakit kaum yang sudah sekolah, jadi kaum yang sudah insyaf namanya. Daripada didikan dan pergaulan dengan Barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun siang hari, sore tidur lagi, senja - senja minum teh di hadapan rumah melancong - lancong mengambil udara. Mereka yang demikian menyebut dirinya modern. Tetapi semangat modern, yang sebenarnya, semangat yang menyebabkan orang Barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat, sekaliannya itu tiada sedikit jua pun diambilnya. Kelebihan orang Barat bagi mereka serupa itu ialah keindahan pakaian, rapi dan mahalnya perabot rumah, bibir dan kuku yang bercat, dan sepanjang hari berkeliaran naik auto."

Yusuf tersenyum melihat kepada Tuti yang terus sekali gembira berbicara seperti di rapat - rapat. Ketika Tuti berhenti sebentar berkatalah ia, "Kalau itu maksudmu, saya setuju, tetapi tentulah contoh bangun siang hari itu terlampau tiada berarti. Di bagian yang besar - besar, saya pun merasa seperti yang engkau ucapakna itu. Orang lebih mudah meniru dan meneladan yang mudah dan senang dari yang sukar dan meminta tenaga. Lebih mudah mempunyai auto dan radio di rumah daripada membanting tulang mempelajari sesuatu pasal dengan teliti atau mengerjakan sesuatu pekerjaan yang besar seperti dilangsungkan orang Barat. Kaum terpelajar kita sama sekolahnya, sama gelarnya, sama rupa rumah dan merk autonya, dengan kaum terpelajar Barat, ilmu, kesungguh - sungguhanya mengejar cita - cita. Keluh orang mengatakan, kaum terpelajar bangsa kita tidak produktif, kurang banyak menghasilkan, sesungguhnya mengandung kebenaran."

"Ya, itulah yang saya maksud. Boleh jadi contoh tidur meninggi hari itu terlampau kecil dan tiada berarti. Saya benci kepada yang tidur meninggi hari itu, oleh sebab hal itu saya anggap sebagai suatu akibat dari suatu pendirian yang hendak enaknya saja. Dalam kita menuju ke suatu cita - cita, yang kecil - kecil itu tiada sekali - kali boleh kita lupakan. Kita harus konsekuen, harus tetap pendirian sampai kepada pasal yang kecil - kecil pun. Terutama sekali dalam pergerakan perempuan menurut pengalaman saya, sekaliannya itu harus diingatkan dan ditunjukkan. Segala orang mau menyebutkan modern, segala orang hendak pergi ke rapat, tetapi rapat itu bagi kebanyakan orang menjadi tempat mempertontonkan pakaian, menjadi mode - show. Dapat dihitung jumlahnya orang yang menjadi anggota sesuatu perkumpulan karena sungguh - sungguhnya oleh keinsafan hati."

"Saya mengerti yang engkau maksud,"Kata Yusuf menyela. "Keadaan seperti engkau tunjukkan itu, bukan hanya terdapat di kalangan perempuan, tetapi tidak bedanya di kalangan laki - laki. Tetapi janganlah kita menyangka bahwa kita akan dapat melenyapkannya sama sekali."

"Sama sekali tentu tidak, "Sambil Tuti dengan tetap, "Tetapi kewajiban kita ialah menambah sebanyak - banyaknya mereka yang insaf itu. Kita harus menginsafkan mereka akan perbedaan antara isi yang sebenarnya dengan kulit. Untuk itu kita harus menggambarkan dengan senyata - nyata di mana watas isi dengan kulit, di mana watas hakikat dengan rupa semata - mata. Kita harus berjuang melawan sifat pemudah yang terdapat pada bangsa kita. Di mana kita melihat orang memuja kulit, orang memuja rupa dan melupakan isi hakikat di situ kita harus memukulkan cambuk kita. Dalam Putri Sedar mereka yang serupa itu tidak saya saya kasihani, biarlah mereka keluar daripada membanyak - banyakkan anggota yang tak ada gunannya. Biarlah mereka berkumpul dalam perkumpulan tenis, perkumpulan untuk pertemuan makan - makan dan piknik - piknik . . . "

"O ya, contoh menyolok mata bagaimana mereka serupa itu menganggap arti perkataan modern : cobalah engkau berjalan pagi - pagi di lapangan tenis dan bagian - bagian yang banyak didiami oleh kaum bangsa terpelajar bangsa kita. Engkau akan melihat bagaimana ibu - ibu yang modern itu asyik mengejar bola di atas taris. Di rumah babu menjaga anak dan memasak nasi."

"Saya setia dengan engkau, bahwa kita harus memisahkan kebaratan yang menjelma dalam kebiasaan menonton bioskop, bermain tenis, kegilaan akan pakaian dan perabot rumah yang indah - indah, dengan semangat Barat yang pokok bangsa Barat membangunkan kerajaan yang membelilit dunia, yang menyebabkan Barat dapat menguasai alam, terbang di udara dan menyelam di laut. Tetapi dalam pada itu kita harus insaf, bahwa kedua - duanya itu pada hakikatnya aliran dari jiwa yang satu. Jiwa manusia bukan semata - mata terjadi dari otak yang tajam, yang tiada lain kerjanya daripada menimbang baik dan buruk. Manusia tidak dapat hidup semata - mata daripada yang baik menurut ukuran faedah dan gunanya."     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar