PERJALANAN DUA PENCARI ALAMAT
Cerpen Jujur Prananto
Potongan kertas buram berukuran kurang lebih lima kali sentimeter itu di pegangnya sedemikian erat, mengesankan sebagai barang yang sangat berharga. TARDI, d/a H. Rahim, Jalan Lingkar Luar Barat, Gang Langgar, RT.003 / RW.05, No.192, Kelurahan Kebon Bambu, Jakarta Barat. Entah sudah berapa kali Atun membacakan alamat suaminya yang tertulis dalam potongan kertas itu kepada sekian banyak orang yang ditemuinya, tetapi perjalanan pencariannya tidak kunjung selesai juga.
"Dulu suami saya bekerja jadi kuli harian di proyek pembangunan gedung bertingkat, "Begitu setiap kali Atun mulai bercerita. "Waktu itu boleh dibilang sebulan sekali dia pulang. Bosan jadi kuli, suami saya pindah sana pindah sini sampai akhirnya diterima jadi tukang kayu di perusahaan mebel kepunyaan Haji Rahim di kebon Bambu ini. Kiriman duitnya memang besar, tetapi sejak itu dia jarang pulang. Paling - paling cuma dua kali pas lebaran ketupat sama lebaran haji. Dari mudik yang terakhir sampai sekarang kalau dihitung - hitung sudah setahun lebih dia tidak muncul, bukan cuma orangnya, tetapi juga kiriman duitnya . . . "
"Ini memang Gang Langgar nomor 192, tetapi tidak ada yang namanya Haji Rahim. Ada juga Haji Rahim, tetapi rumahnya nomor 28. Coba saja ke sana. Dari sini lurus, belok kanan, kiri, kanan lagi, ada gardu siskamling masuk gang sampingnya, kira - kira lima rumah dari situ, tanya saja di mana rumah Haji Rahim."
Kurang lebih satu jam Atun mencari, tanya sana sini, balik sana sini, rumah nomor dua puluh delapan akhirnya berhasil juga ditemukan.
"Nama saya memang Rahim, tetapi saya tidak punya pabrik mebel. Alamat suami Ibu itu persisnya dimana?"
Atun menunjukkan potongan kertas berisi catatan alamat itu.
"Oooo. . .sini Kebon Randu, bukan Kebon Bambu. Ibu keluar lagi ke jalan raya, naik mikrolet ke terminal. Di sana ganti bis. Tanya saja mana yang jurusan Jalan Lingkar Luar Barat."
Di dalam bus kota Atun bertanya ke penumpang sebelah.
"Jalan Lingkar Luar Barat? Wah, ibu salah naik."
"Pak kondektur tadi bilang bis ini ke Jalan Lingkar Luar juga,"
"Ya, tetapi Jalan Lingkar Luar Timur."
"Dari Lingkar Timur ke Lingkar Barat jauh?"
"Bukan jauh lagi, Bu. Dari ujung ke ujung."
Di bus yang lain Atun membacakan lagi alamat itu pada penumpang di sampingnya.
"Lho! Yang kita lewati sekarang ini Lingkar Luar Barat."
"Kelurahan Kebon Bambu di mana?"
"Sudah lewat! Ibu turun saja di depan, menyeberang, balik lagi. Kalau mau jalan kaki bisa saja, tetapi lumayan jauh."
Di halte bus ia menanyakan hal yang sama kepada tukang ojek yang mangkal di situ.
"Gang Langgar ada banyak, Bu Akan tetapi, di Kelurahan Kebon Bambu sini kebetulan tidak ada yang namanya Gang Langgar."
"Kalau rumah Haji Rahim? suami saya tinggal di rumah Haji Rahim, Dia pernah bilang, orang - orang Kebon Bambu semua kenal sama Haji Rahim."
"Haji Rahim banyak juga, Bu. Haji Rahim pegawai pemda, Haji Rahim tukang bunga, Haji Rahim pemilik bengkel."
"Ada tidak Haji Rahim yang punya perusahaan mebel?"
"Yang punya perusahaan mebel ada. Akan tetapi, saya tidak tahu namanya siapa. Atau saya antar Ibu ke sana."
Atun mulai berpengharapan. Setelah kurang dari lima jam melanglang lewat belasan jalan, menembus kemacetan, naik turun bus kota, metromini, mikrolet, bajaj, toyoko, bemo, paling tidak kali ini ia mulai menemukan titik terang.
Oleh tukang ojek Atun dibawa masuk ke sebuah kompleks rumah susun yang ramainya bukan main. Suara - suara radio, kaset, karaoke, tangis bayi, jeritan anak - anak bermain, semua berbaur seolah dari segala penjuru. Jemuran warna - warni berkibar di sana - sini.
Seorang lelaki setengah umur menyambut kedatangan Atun dengan kerutan kening, mencoba bersabar mendengarkan pengaduan Atun yang tidak berkeputusan.
"Dulu suami saya bekerja jadi kuli harian di proyek pembangunan gedung bertingkat. Waktu itu boleh dibilang sebulan sekali dia pulang. Bosan jadi kuli suami saya pindah sana sini sampai akhirmya diterima jadi tukang mebel kepunyaan Haji Rahim di Kebon Bambu ini . . . ."
"Siapa nama suamimu?"
"Mas Tardi."
"Di sini tidak ada yang namanya Tardi. Kerjaan dia apa?"
"Tukang kayu."
"Saya tidak punya pegawai tukang kayu. Tukang las banyak. Memang alamat persisnya dimana?"
Untuk kesekian kalinya Atun membacakan alamat yang tertulis pada potongan kertas itu.
"Blok berapa?"
"Tidak pakai blok - blokan."
"Lho, semua rumah di sini pakai nomor blok. Blok A, Blok B, A-1, A-2, A-1 artinya blok A lantai satu, A-2 artinya blok A lantai dua. Atau juga erte-erwenya, tetapi malah banyak orang yang tidak hafal."
"Kalau ini jalan apa,pak?"
"Jalan Aster. Semua jalan di sini pakai nama bunga."
"Jadi bukan Gang Langgar?"
"Gang Langgar?" Lelaki setengah umur ini meminjam catatan alamat yang dipegang Atun itu dan mengejanya pelan. "Tardi dengan alamat Haji Rahim . . . lho? Saya bukan Haji Rahim. Nama saya Sofyan."
"Ooooo . . . saya tahu yang dimaksud!" Tiba - tiba Pak Sofyan berseru keras. "Haji Rahim pengusaha mebel itu dulu memang tinggal di daerah sini, tetapi waktu itu Kelurahan Kebon Bambu masih kampung. Betul juga kalau dia tinggal di Gang Langgar. Persisnya seberang rumahnya ada Langgar. Akan tetapi, itu dulu, sebelum kebakaran besar tahun lalu. Gara - gara kebakaran itu, rumah Haji Rahim boleh dibilang rata sama tanah. Puluhan mebel habis, persediaan kayu seluruhnya ludes. Akhirnya satu kelurahan dibongkar buat dibangun sekalian jadi rumah susun yang sekarang ini. Haji Rahim nggak tahu pindah ke mana."
Harapan Atun putus sudah. Ia tidak tahu mesti ke mana lagi.
Potongan kertas buram berukuran lima kali sentimeter dipegangnya sedemikian erat, mengesankan sebagai barang yang sangat berharga. Atun, d/a. Ibu Sofyan. Rumah Sususn Kebon Bambu, Blok D-1, nomor 12, Jalan Lingkar Luar Barat, Jakarta Barat. Entah sudah beberapa kali Jimin membacakan alamat ibunya yang tertulis dalam potongan kertas itu kepada sekian banyak orang di temuinya, tetapi perjalanan pencarian tidak kunjung selesai juga, sampai akhirnya ia terdampar di depan sepasang bangunan bertingkat tinggi yang mengesankan baru selesai dibangun. Halamnya luas, bertambah indah, berpepohonan rindang. Deretan mobil - mobil mulus terparkir rapi di sana.
"Dulu emak saya pergi ke kota mencari bapak, tetapi tidak ketemu," begitu Jimin bercerita kepada seseorang satpam yang berjaga di gardu depan bagunan bertingkat itu. "Emak kehabisan duit, lalu bekerja jadi pembantu di rumah Ibu Sofyan di Kebon Bambu ini. Jarang sekali emak pulang kampung, paling - paling sekali waktu Lebaran. Akan tetapi, sampai hari ini sudah setahun lebih emak tidak datang. Kirimanya duitnya juga macet."
"Ya, ya, ya. Yang penting rumahnya di mana?"
Jimin memberikan potongan kertas itu pada si Satpam, yang segera menyambutnya dengan senyum tipis yang sinis.
"Jangan dibilang rumah susun Kebon Bambu. Yang benar Kebon Bambu Condominium."
"Barangkali emak salah sebut."
Si Satpam ini kemudian membuka - buka buku catatan di depanya. "Di blok D-1 tidak ada yang namanya Sofyan. Blok D semuanya ditempati orang bule."
"Barangkali blok B?"
"Sama juga. Isinya orang bule sama Jepang. Ada juga yang Arab, akan tetapi, adanya di blok A. Memang emak kamu kerja di rumah orang Arab?"
"Bukan. Ibu Sofyan itu orang Jakarta asli."
"Ah ! Tidak ada orang Melayu tinggal di sini."
Seorang satpam lain mendekat, ikut membaca alamat pada potongan kertas dari Jimin itu.
"Rumah susun Kebon Bambu? Dari mana kamu tahu alamat ini?"
"Dari emak waktu pulang dulu."
"Kapan itu?"
"Sudah lama sekali Pak. Kira - kira tiga tahun yang lalu."
"Wah! Rumah susun yang dulu sudah dibongkar!"
"Lalu orang - orangnya pada pindah ke mana?"
Para satpam ini tidak menjawab. Sekonyong - konyong mereka berdiri tegap menghadap gerbang. Memberi hormat dengan sikap nyaris sempurna ke arah sebuah limusin hitam yang mendesis pelan memasuki halaman, padahal sama sekali tidak jelas siapa yang duduk di dalam, sebab kaca samping sedan panjang ini kelewat gelap dan tertutup rapat.
Potongan kertas berisi catatan alamat itu pun begitu saja lepas dari tangan si Satpam, sempat sesaat melayang tertiup angin, kemudian jatuh masuk selokan.
"Ini memang Gang Langgar nomor 192, tetapi tidak ada yang namanya Haji Rahim. Ada juga Haji Rahim, tetapi rumahnya nomor 28. Coba saja ke sana. Dari sini lurus, belok kanan, kiri, kanan lagi, ada gardu siskamling masuk gang sampingnya, kira - kira lima rumah dari situ, tanya saja di mana rumah Haji Rahim."
Kurang lebih satu jam Atun mencari, tanya sana sini, balik sana sini, rumah nomor dua puluh delapan akhirnya berhasil juga ditemukan.
"Nama saya memang Rahim, tetapi saya tidak punya pabrik mebel. Alamat suami Ibu itu persisnya dimana?"
Atun menunjukkan potongan kertas berisi catatan alamat itu.
"Oooo. . .sini Kebon Randu, bukan Kebon Bambu. Ibu keluar lagi ke jalan raya, naik mikrolet ke terminal. Di sana ganti bis. Tanya saja mana yang jurusan Jalan Lingkar Luar Barat."
Di dalam bus kota Atun bertanya ke penumpang sebelah.
"Jalan Lingkar Luar Barat? Wah, ibu salah naik."
"Pak kondektur tadi bilang bis ini ke Jalan Lingkar Luar juga,"
"Ya, tetapi Jalan Lingkar Luar Timur."
"Dari Lingkar Timur ke Lingkar Barat jauh?"
"Bukan jauh lagi, Bu. Dari ujung ke ujung."
Di bus yang lain Atun membacakan lagi alamat itu pada penumpang di sampingnya.
"Lho! Yang kita lewati sekarang ini Lingkar Luar Barat."
"Kelurahan Kebon Bambu di mana?"
"Sudah lewat! Ibu turun saja di depan, menyeberang, balik lagi. Kalau mau jalan kaki bisa saja, tetapi lumayan jauh."
Di halte bus ia menanyakan hal yang sama kepada tukang ojek yang mangkal di situ.
"Gang Langgar ada banyak, Bu Akan tetapi, di Kelurahan Kebon Bambu sini kebetulan tidak ada yang namanya Gang Langgar."
"Kalau rumah Haji Rahim? suami saya tinggal di rumah Haji Rahim, Dia pernah bilang, orang - orang Kebon Bambu semua kenal sama Haji Rahim."
"Haji Rahim banyak juga, Bu. Haji Rahim pegawai pemda, Haji Rahim tukang bunga, Haji Rahim pemilik bengkel."
"Ada tidak Haji Rahim yang punya perusahaan mebel?"
"Yang punya perusahaan mebel ada. Akan tetapi, saya tidak tahu namanya siapa. Atau saya antar Ibu ke sana."
Atun mulai berpengharapan. Setelah kurang dari lima jam melanglang lewat belasan jalan, menembus kemacetan, naik turun bus kota, metromini, mikrolet, bajaj, toyoko, bemo, paling tidak kali ini ia mulai menemukan titik terang.
Oleh tukang ojek Atun dibawa masuk ke sebuah kompleks rumah susun yang ramainya bukan main. Suara - suara radio, kaset, karaoke, tangis bayi, jeritan anak - anak bermain, semua berbaur seolah dari segala penjuru. Jemuran warna - warni berkibar di sana - sini.
Seorang lelaki setengah umur menyambut kedatangan Atun dengan kerutan kening, mencoba bersabar mendengarkan pengaduan Atun yang tidak berkeputusan.
"Dulu suami saya bekerja jadi kuli harian di proyek pembangunan gedung bertingkat. Waktu itu boleh dibilang sebulan sekali dia pulang. Bosan jadi kuli suami saya pindah sana sini sampai akhirmya diterima jadi tukang mebel kepunyaan Haji Rahim di Kebon Bambu ini . . . ."
"Siapa nama suamimu?"
"Mas Tardi."
"Di sini tidak ada yang namanya Tardi. Kerjaan dia apa?"
"Tukang kayu."
"Saya tidak punya pegawai tukang kayu. Tukang las banyak. Memang alamat persisnya dimana?"
Untuk kesekian kalinya Atun membacakan alamat yang tertulis pada potongan kertas itu.
"Blok berapa?"
"Tidak pakai blok - blokan."
"Lho, semua rumah di sini pakai nomor blok. Blok A, Blok B, A-1, A-2, A-1 artinya blok A lantai satu, A-2 artinya blok A lantai dua. Atau juga erte-erwenya, tetapi malah banyak orang yang tidak hafal."
"Kalau ini jalan apa,pak?"
"Jalan Aster. Semua jalan di sini pakai nama bunga."
"Jadi bukan Gang Langgar?"
"Gang Langgar?" Lelaki setengah umur ini meminjam catatan alamat yang dipegang Atun itu dan mengejanya pelan. "Tardi dengan alamat Haji Rahim . . . lho? Saya bukan Haji Rahim. Nama saya Sofyan."
"Ooooo . . . saya tahu yang dimaksud!" Tiba - tiba Pak Sofyan berseru keras. "Haji Rahim pengusaha mebel itu dulu memang tinggal di daerah sini, tetapi waktu itu Kelurahan Kebon Bambu masih kampung. Betul juga kalau dia tinggal di Gang Langgar. Persisnya seberang rumahnya ada Langgar. Akan tetapi, itu dulu, sebelum kebakaran besar tahun lalu. Gara - gara kebakaran itu, rumah Haji Rahim boleh dibilang rata sama tanah. Puluhan mebel habis, persediaan kayu seluruhnya ludes. Akhirnya satu kelurahan dibongkar buat dibangun sekalian jadi rumah susun yang sekarang ini. Haji Rahim nggak tahu pindah ke mana."
Harapan Atun putus sudah. Ia tidak tahu mesti ke mana lagi.
Potongan kertas buram berukuran lima kali sentimeter dipegangnya sedemikian erat, mengesankan sebagai barang yang sangat berharga. Atun, d/a. Ibu Sofyan. Rumah Sususn Kebon Bambu, Blok D-1, nomor 12, Jalan Lingkar Luar Barat, Jakarta Barat. Entah sudah beberapa kali Jimin membacakan alamat ibunya yang tertulis dalam potongan kertas itu kepada sekian banyak orang di temuinya, tetapi perjalanan pencarian tidak kunjung selesai juga, sampai akhirnya ia terdampar di depan sepasang bangunan bertingkat tinggi yang mengesankan baru selesai dibangun. Halamnya luas, bertambah indah, berpepohonan rindang. Deretan mobil - mobil mulus terparkir rapi di sana.
"Dulu emak saya pergi ke kota mencari bapak, tetapi tidak ketemu," begitu Jimin bercerita kepada seseorang satpam yang berjaga di gardu depan bagunan bertingkat itu. "Emak kehabisan duit, lalu bekerja jadi pembantu di rumah Ibu Sofyan di Kebon Bambu ini. Jarang sekali emak pulang kampung, paling - paling sekali waktu Lebaran. Akan tetapi, sampai hari ini sudah setahun lebih emak tidak datang. Kirimanya duitnya juga macet."
"Ya, ya, ya. Yang penting rumahnya di mana?"
Jimin memberikan potongan kertas itu pada si Satpam, yang segera menyambutnya dengan senyum tipis yang sinis.
"Jangan dibilang rumah susun Kebon Bambu. Yang benar Kebon Bambu Condominium."
"Barangkali emak salah sebut."
Si Satpam ini kemudian membuka - buka buku catatan di depanya. "Di blok D-1 tidak ada yang namanya Sofyan. Blok D semuanya ditempati orang bule."
"Barangkali blok B?"
"Sama juga. Isinya orang bule sama Jepang. Ada juga yang Arab, akan tetapi, adanya di blok A. Memang emak kamu kerja di rumah orang Arab?"
"Bukan. Ibu Sofyan itu orang Jakarta asli."
"Ah ! Tidak ada orang Melayu tinggal di sini."
Seorang satpam lain mendekat, ikut membaca alamat pada potongan kertas dari Jimin itu.
"Rumah susun Kebon Bambu? Dari mana kamu tahu alamat ini?"
"Dari emak waktu pulang dulu."
"Kapan itu?"
"Sudah lama sekali Pak. Kira - kira tiga tahun yang lalu."
"Wah! Rumah susun yang dulu sudah dibongkar!"
"Lalu orang - orangnya pada pindah ke mana?"
Para satpam ini tidak menjawab. Sekonyong - konyong mereka berdiri tegap menghadap gerbang. Memberi hormat dengan sikap nyaris sempurna ke arah sebuah limusin hitam yang mendesis pelan memasuki halaman, padahal sama sekali tidak jelas siapa yang duduk di dalam, sebab kaca samping sedan panjang ini kelewat gelap dan tertutup rapat.
Potongan kertas berisi catatan alamat itu pun begitu saja lepas dari tangan si Satpam, sempat sesaat melayang tertiup angin, kemudian jatuh masuk selokan.
Apa saja unsur instrinsik nya
BalasHapusSebutkan Unsur instrinsik nya
BalasHapus